BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam lingkup yang lebih khusus,
terutama dalam konteks kelas,
psikologi belajar
atau psikologi pembelajaran banyak memusatkan
perhatiannya pada
psikologi dan pembelajaran. Fokusnya adalah aspek - aspek psikologis dalam aktivitas pembelajaran,
sehingga dapat diciptakan suatu proses pembelajaran yang efektif. Upaya
tersebut, dapat dilakukan dengan mewujudkan prilaku mengajar yang efektif pada
guru, dan mewujudkan prilaku belajar pada siswa yang terkait dengan proses
pembelajaran. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa psikologi belajar mempunyai
peranan besar dalam proses pembelajaran khususnya bagi kita sebagai calon guru.
Aliran psikologi belajar yang sangat
besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan
pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan
metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila
diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Teori behavioristik memandang bahwa
pengetahuan harus terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang
belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih
dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidak mampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan
aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar
diri pebelajar. Penjelasan di atas menunjukan betapa pendidikan kita saat ini
sngat jelas menganut teori behavioristik. Olehnya itu dalam
makalah inipun mengangkat masalah ”
Implementasi Teori Behaviorisme Dalam Pendidikan”.
1.2 Rumusan Masalah
Setelah
membaca pendahuluan diatas penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah
yang dimaksud dengan teori behaviorisme?
2. Bagaimanakah
implikasi teori behaviorisme dalam pendidikan?
3. Bagaimanakah
prinsip-prinsip behaviorisme?
4. Apakah
tujuan pembelajaran behaviorisme?
1.3 Tujuan Makalah
Tujuan paembuatan makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui implikasi teori behaviorisme
2.
Untuk mengetahui prinsip-prinsip teori
behaviorisme
3.
Untuk mengetahui Aplikasi Teori Behaviorisme Dalam
Pembelajaran
4.
Untuk
mengetahui tujuan pembelajaran behaviorisme di sekolah
BAB
II
RINGKASAN
MATERI
2.1 Teori Behaviorisme
Dalam teori behaviorisme, menganalisa
hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan.
Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar.Belajar artinya
perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau
mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional;
behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalian oleh
faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada
tingkah laku manusia.
Prinsip-prinsip
teori behaviorisme:
a)
obyek
psikologi adalah tingkah laku,
b)
semua
bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek,
c)
mementingkan
pembentukan kebiasaan
beberapa
tokoh terkenal pendiri teori behavioris adalah:
Edward
Lee Thorndike (1874-1949)
Ivan
Petrovich Pavlov (1849-1936)
John
b. Watson (1878-1958)
B.f.
Skinner (1804-1990)
Albert Bandura (1925-sekarang)
Prinsip
belajar Skinners adalah :
a) Hasil belajar harus segera diberitahukan pada
siswa jika salah dibetulkan jika benar diberi penguat.
b) Proses belajar harus mengikuti irama
dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.
c) Dalam proses pembelajaran lebih
dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan
perlu diubah untuk menghindari hukuman.
d) Tingkah laku yang diinginkan
pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya
jadwal variable ratio reinforcer.
e) dalam pembelajaran digunakan
shapping.
2.2
Aplikasi Teori Behaviorisme Dalam Pembelajaran
Aplikasi teori behavioristik dalam
kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
a)
tujuan pembelajaran,
b)
sifat materi pelajaran,
c)
karakteristik pebelajar,
d)
media dan fasilitas pembelajaran
yang tersedia.
Teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap,dan
tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar
adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan
(transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Tujuan
pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut
pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan
pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari
bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat,
sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib
dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku
wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi
menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang
benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan
guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
2.3
Behaviorisme
Dalam Sekolah
Behaviorisme, juga dikenal
sebagai psikologi perilaku, adalah sebuah aliran pemikiran yang sangat menonjol
di awal abad ke-20 karena para pemikir seperti John B. Watson dan BF Skinner.
Bahkan, Watsonlah yang menciptakan istilah behaviorisme.
Menurut
behaviorisme, semua perilaku dipelajari dan itulah sebabnya behaviorisme di
sekolah terlihat sehari-hari. Untuk memahami kemampuan belajar dan
karakteristik anak-anak dan remaja, perilaku berlaku teori-teori psikologi
perkembangan, yang sering diyakini secara bertahap. Teori pembangunan dasarnya
mengatakan bahwa seseorang menampilkan perubahan dalam kognisi, peran sosial,
penalaran moral dan kepercayaan saat ia tumbuh dewasa. Dan banyak perubahan ini
dipelajari berdasarkan pengalaman masa lalu.
Behaviorisme
di sekolah mengakui bahwa setiap orang memiliki karakteristik yang berbeda,
kemampuan dan tantangan yang belajar dan hasil dari pengembangan dan perbedaan
ini tampak dalam setiap individu ketika datang ke kecerdasan, kreativitas,
kognisi, motivasi dan kemampuan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan
orang-orang di sekitar mereka .
Behaviorisme
di sekolah menganggap bahwa siswa mempertahankan pengetahuan dan keterampilan
yang mereka pelajari di sekolah dan kemudian mereka dapat menerapkan
pengetahuan dan keterampilan ini dalam situasi-situasi di luar kelas di dunia
nyata. Penelitian telah menunjukkan bahwa bahkan ketika siswa tidak menggunakan
pengetahuan yang mereka peroleh di sekolah, mereka masih bisa mempertahankan
jumlah yang cukup besar pengetahuan selama bertahun-tahun dan setiap hubungan
jangka panjang didasarkan pada tingkat penguasaan pengetahuan itu.
Fakta
bahwa belajar di sekolah dan perguruan tinggi yang dipelajari, menunjukkan
bahwa behaviorisme digunakan cukup sedikit di sekolah. Ini akan menjelaskan
semua latihan dan praktek berulang-ulang bahwa siswa harus menjalani untuk
mempelajari pelajaran tertentu di dalam kelas. Selain itu, guru-guru memberikan
bantuan positif kepada siswa yang berkinerja baik dan mengikuti peraturan
kelas. Sistem ganjaran ini, pada gilirannya, memotivasi siswa lebih jauh dan ia
melakukan lebih baik. Namun, bila mahasiswa sudah pada tingkat performa tinggi,
motivasi konstan melalui penghargaan dan bantuan dapat benar-benar mengurangi
kinerja siswa dan ini adalah sesuatu yang mengikuti tingkah laku guru di
sekolah harus sadar.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Teori Beahoviorisme
Kaum kaum behaviorisme
menjalaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana
reiforcemen dan punishment menjadi stimulus untuk merangasang siswa dalam
berperilaku. Pendidik yang masih menggunakaan kerangka behasvioristik biasanya
merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian
kecil yang ditandai dengan suatu keeterampilan tertentu. Kemudian bagian-bagian
tersebut disusun secara hirarki, dari
yang sederhana ssampai yang komplek (paul,1997).
Pandangan teori
behavioristik telah lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang
ada, toeri skinnerlah yang paling besar pengeruhnya terhadap perkembangan teori
belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti teaching machine,
pembelajarn berprogram, modul, dan pembelajaran lainya, yang berpijak pada
konsep hubungan stimulus dan respon, serta memeentingkan factor-faktor penguat
(reinforcmen), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori yang
dikemukakan skinner.
Teori behavioristik
kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka
memiliki pengalaman penguatn yang sama. Pandangan ini tidak dapaat menjelaskan
mengapa dua anak yamg mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang
relative sama,ternyata perilakunya terhadap sati pelajaran berbeda, begitu juga
dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitany. Pandangan behavioristik
hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak
memperhatikan adanyapengaaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan
unsure-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik
cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linear,konvergen, tidak kreatif dan
tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajarmerupakan proses pembentukan
atau shapping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu
sehingga menjadikan siswa tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.proses belajar
tidak sekedar pembentukan atau shapping.
Factor lain yang
dianggap oleh aliran behavioris adalah factor penguatan (reinforcement). Bila
penguatan ditambahkan(positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat.
Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka
responpun akan semakin kuat.
3.2
Aplikasi Tori Behavioristik Dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya
terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga
kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi
pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami oleh murid.
3.3
Implikasi Teori Behavioristik Dalam Pembelajaran
Kurikulum berbasis filsafat behaviorisme tidak sepenuhnya
dapat diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional, terlebih lagi pada
jenjang pendidikan usia dewasa. Tetapi behaviorisme dapat diterapkan untuk
metode pembelajaran bagi anak yang belum dewasa. Karena hasil eksperimentasi
bihavioristik cenderung mengesampingkan aspek-aspek potensial dan kemampuan
manusia yang dilahirkan. Bahkan bihaviorisme cenderung menerapkan sistem
pendidikan yang berpusat pada manusia baik sebagai subjek maupun objek
pendidikan yang netral etik dan melupakan dimensi-dimensi spiritualitas sebagai
fitrah manusia. Oleh karena itu behaviorisme cenderung antropomorfis skularistik.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses
pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar
untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.
Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau
robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi
yang ada pada diri mereka.
3.4 Tujuan Pembelajaran Behaviorisme
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik
ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas
“mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang
sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau
materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi
fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti
urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara
terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara
“benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar
secara individual.
3.5
Tokoh-Tokoh Yang Mendukung Teori Behavioristik
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah
Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas
karya-karya para tokoh aliran behavioristik.
Teori
Belajar Menurut Thorndike(1874-1949)
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap
melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta
didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat
berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak
dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran,
tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak
dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme
(Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang
utama, yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell,
Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat
memperkuat respon.
Teori
Belajar Menurut Watson(1878-1958)
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi
antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat
diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun
dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan
karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena
kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau
Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh
mana dapat diamati dan diukur.
Teori
Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara
stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat
terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori
evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan
biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah
penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga
stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud
macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga
dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
Teori
Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti.
Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul
kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991).
Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk
menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir
yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang
dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar
tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar
peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman
(punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat
mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa
yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas
yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
Ivan
Petrovich Pavlov (1849-1936)
Teori pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang
netral atau stimuli yang terkondisi dengan stimuli tertentu yang tidak
terkondisikan, yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini
terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral melahirkan respons terkondisikan.
Pavlo mengadakan percobaan
laboratories terhadap anjing. Dalam percobaan ini anjing di beri stimulus bersarat
sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing. Contoh situasi percobaan tersebut
pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa disadari
menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang berbeda dari
pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut diterapkan
strategi Pavlo ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti
stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon
yang diinginkan. Sementara individu tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari
luar. Belajar menurut teori ini adalah suatu proses perubahan yang terjadi
karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan reaksi.Yang terpenting dalam
belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan pengulangan. Kelemahan
teori ini adalah belajar hanyalah terjadi secara otomatis keaktifan dan
penentuan pribadi dihiraukan.
Tori Belajar Menurut Skinner(1804-1990)
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar
lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep
belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan
antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya,
yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima
seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan
saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon
yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku
(Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara
benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta
memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin
timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan
menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah
laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan
perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Albert
Bandura (1925-sekarang)
Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan
pelaziman. Bandura menambahkankonsep belajar sosial (social learning). Ia
mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar. Kaum
behaviorisme tradisional menjelaskan bahwa kata-kata yang semula tidak ada
maknanya, dipasangkan dengan lambak atau obyek yang punya makna (pelaziman
klasik).
Teori belajar Bandura adalah teori belajar social atau
kognitif social serta efikasi diri yang menunjukkan pentingnya proses mengamati
dan meniru perilaku, sikap dan emosi orang lain. Teori Bandura menjelaskan
perilaku manusia dalam konteks interaksi tingkah laku timbale balik yang
berkesinambungan antara kognitine perilaku dan pengaruh lingkungan.
Factor-faktor yang berproses dalam observasi adalah perhatian, mengingat,
produksi motorik, motivasi.
Behaviorsime memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi
terjadi dalam diri individu, sedang kaum behavioris hanya melihat pada
peristiwa-peristiwa eksternal. Perasaan dan pikiran orang tidak menarik mereka.
Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada psikologi ”mentalistik”.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus
dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika
dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori behviorisme dalam
belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar,
sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon
tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang
diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon)
harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab
pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran
behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula
bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga
semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik,
meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary
Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5)
Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage,
Berliner, 1984).
3.2
Saran
Kami menyadri bahwasannya penyusun dari makalah ini
hanyalah manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, kesempurnaan
hanya milik Tuhan Azza Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusunannya masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif
akan senantiasa penyusun nanti dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya kami hanya bisa
berharap, bahwa dibalik ketidaksempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini
adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi
penyusun, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa-mahasiswi Universitas Negeri
makassar terutama mahasiswa Program Studi tpendidikan teknik elektronika.